Makanan Pendamping ASI (MPASI) merupakan tahapan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi. Namun, praktik pemberian MPASI telah mengalami perubahan signifikan dari masa lalu hingga saat ini. Artikel ini akan menelusuri praktik pemberian MPASI di masa lampau, membandingkannya dengan praktik modern, dan menyorot perbedaan mendasar yang memengaruhi kesehatan dan nutrisi bayi.
1. Sumber Informasi MPASI Zaman Dulu: Kearifan Lokal dan Tradisi Lisan
Informasi mengenai MPASI di zaman dulu sebagian besar bersumber dari tradisi lisan, turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak ada panduan tertulis yang baku seperti yang kita temukan saat ini. Informasi didapatkan melalui pengalaman ibu-ibu dan nenek-nenek dalam keluarga, serta kearifan lokal yang berkembang di setiap daerah. Praktiknya sangat beragam, bergantung pada budaya, ketersediaan bahan pangan lokal, dan kondisi ekonomi keluarga. Sumber-sumber sejarah tertulis yang membahas MPASI secara spesifik pun sangat terbatas, sehingga rekonstruksi praktiknya harus dilakukan dengan hati-hati berdasarkan data-data yang tersedia. Studi antropologi dan etnografi dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap, meskipun tetap perlu diinterpretasi dengan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya masing-masing masyarakat. Data-data ini seringkali bersifat kualitatif dan tidak terukur secara kuantitatif, berbeda dengan data-data riset modern yang berbasis bukti ilmiah.
2. Jenis Makanan Pendamping ASI di Masa Lalu: Sederhana dan Berbasis Lokal
Makanan pendamping ASI zaman dulu umumnya sederhana dan berfokus pada bahan-bahan yang mudah didapatkan di lingkungan sekitar. Ubi jalar, singkong, pisang, beras merah, bubur jagung, dan sayur-sayuran lokal merupakan beberapa contohnya. Pengolahannya pun sederhana, umumnya direbus atau ditumbuk hingga halus. Susu hewan seperti susu sapi atau kambing juga diberikan, meskipun tanpa memperhatikan sterilisasi dan keamanan pangan seperti yang diterapkan saat ini. Penggunaan bumbu dan garam sangat minim, bahkan mungkin dihindari sama sekali untuk bayi yang masih sangat muda. Praktik ini didorong oleh keterbatasan pengetahuan tentang nutrisi dan keamanan pangan, serta filosofi untuk memberikan makanan yang dianggap “alami” dan “sehat” sesuai dengan pemahaman masa itu. Tidak ada standar tertentu mengenai tekstur dan variasi makanan, sehingga setiap bayi mungkin menerima jenis dan konsistensi makanan yang berbeda-beda.
3. Waktu Pemberian MPASI: Variasi Berdasarkan Tradisi dan Kebutuhan
Waktu pemberian MPASI di masa lalu sangat bervariasi. Beberapa masyarakat mungkin memulai MPASI sejak bayi berusia beberapa bulan, bahkan mungkin sebelum bayi berusia 6 bulan, sementara yang lain mungkin menunggu hingga bayi berusia lebih dari 6 bulan atau bahkan lebih lama. Keputusan ini sangat bergantung pada kebiasaan setempat, kondisi kesehatan bayi, dan persediaan ASI. Tidak ada pedoman baku yang mengatur waktu ideal pemberian MPASI. Faktor-faktor seperti cuaca, musim panen, dan kondisi kesehatan ibu juga dapat memengaruhi waktu dimulainya MPASI. Praktik ini tentu saja sangat berbeda dengan anjuran WHO saat ini yang menyarankan pemberian MPASI pada usia 6 bulan dengan tetap melanjutkan pemberian ASI hingga usia 2 tahun atau lebih.
4. Perbandingan dengan MPASI Modern: Pergeseran Fokus pada Nutrisi dan Keamanan Pangan
MPASI modern jauh lebih terstruktur dan terinformasi. Panduan pemberian MPASI saat ini didasarkan pada bukti ilmiah dan penelitian nutrisi yang komprehensif. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan berbagai lembaga kesehatan lainnya telah mengeluarkan rekomendasi mengenai jenis makanan, waktu pemberian, dan cara pengolahan MPASI yang aman dan bergizi. Fokus utama MPASI modern adalah memenuhi kebutuhan nutrisi bayi agar tumbuh kembangnya optimal. Pemberian makanan yang beragam, memperhatikan tekstur makanan sesuai usia, dan memperhatikan aspek keamanan pangan seperti kebersihan dan sterilisasi menjadi hal yang sangat penting. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan juga telah memberikan pilihan makanan bayi yang lebih beragam dan praktis, seperti bubur bayi instan yang sudah diformulasikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi.
5. Aspek Keamanan Pangan dan Hygiene: Perbedaan Signifikan antara Dulu dan Kini
Aspek keamanan pangan dan hygiene merupakan perbedaan paling mencolok antara MPASI zaman dulu dan sekarang. Di masa lalu, kesadaran akan keamanan pangan masih sangat rendah. Praktik pengolahan makanan yang kurang higienis, seperti penggunaan air yang tidak bersih dan peralatan memasak yang tidak steril, merupakan hal yang umum terjadi. Risiko kontaminasi bakteri dan patogen lainnya sangat tinggi, yang dapat menyebabkan diare, infeksi, dan masalah kesehatan lainnya pada bayi. Kurangnya pengetahuan tentang gizi dan nutrisi juga dapat menyebabkan bayi kekurangan zat gizi penting, yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangannya. Saat ini, pengetahuan tentang keamanan pangan dan hygiene telah meningkat pesat. Sterilisasi peralatan makan, mencuci tangan, dan penggunaan air bersih menjadi praktik yang wajib dilakukan dalam pengolahan MPASI. Standar keamanan pangan yang ketat juga diterapkan dalam produksi makanan bayi kemasan.
6. Akses Informasi dan Edukasi: Ketersediaan Sumber Daya yang Lebih Baik Saat Ini
Perbedaan signifikan lainnya terletak pada akses informasi dan edukasi. Di zaman dulu, informasi mengenai MPASI sangat terbatas dan hanya didapatkan melalui tradisi lisan dan pengalaman pribadi. Saat ini, informasi mengenai MPASI mudah diakses melalui berbagai sumber, seperti buku, internet, dan konsultasi dengan tenaga kesehatan. Pemerintah dan lembaga kesehatan juga aktif melakukan kampanye edukasi mengenai pemberian MPASI yang tepat. Ketersediaan informasi yang luas ini membantu para orang tua membuat keputusan yang lebih tepat dalam memberikan MPASI kepada bayinya. Akses pada layanan kesehatan dan tenaga ahli gizi juga lebih mudah diperoleh saat ini, sehingga para orang tua dapat berkonsultasi dan mendapatkan dukungan yang dibutuhkan dalam memberikan MPASI yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayinya.