Aqiqah merupakan sunnah muakkadah (sunnah yang dianjurkan dengan sangat) dalam Islam yang dilakukan untuk bayi yang baru lahir. Namun, bagaimana hukumnya jika aqiqah dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia? Pertanyaan ini kerap muncul, khususnya dalam konteks budaya dan pemahaman keagamaan yang beragam. Artikel ini akan membahas hukum aqiqah orang yang sudah meninggal berdasarkan pandangan berbagai ulama dan sumber referensi, termasuk pandangan dari Rumah Fiqih Indonesia (Rumaysho).
1. Dalil-Dalil Terkait Aqiqah
Sebelum membahas hukum aqiqah untuk orang yang sudah meninggal, penting untuk memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan aqiqah itu sendiri. Aqiqah disunnahkan berdasarkan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah dari Anas bin Malik ra. yang menyebutkan:
“Dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelih untuknya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan.’” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Hadits ini menjelaskan anjuran untuk melakukan aqiqah dan jumlah hewan yang disembelih berdasarkan jenis kelamin bayi. Tidak ada hadits yang secara eksplisit membahas aqiqah untuk orang yang sudah meninggal. Ketiadaan hadits eksplisit ini menjadi titik awal perbedaan pendapat para ulama.
2. Pendapat Ulama Mengenai Aqiqah Jenazah
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum aqiqah bagi orang yang sudah meninggal. Sebagian ulama berpendapat bahwa aqiqah hanya berlaku bagi bayi yang masih hidup. Mereka berpegang pada kaidah ushul fiqh bahwa hukum asal adalah boleh (ibahah), kecuali jika ada dalil yang menunjukkan sebaliknya. Karena tidak ada dalil yang secara spesifik membolehkan aqiqah untuk orang yang sudah meninggal, maka mereka berpendapat aqiqah untuk jenazah adalah tidak sah.
Pendapat lain mengatakan bahwa aqiqah untuk jenazah diperbolehkan sebagai bentuk ibadah yang bermakna dan sebagai penghormatan terhadap si jenazah. Mereka berargumen bahwa aqiqah merupakan bentuk syukur atas kelahiran dan sebagai wujud rasa cinta dan kasih sayang kepada bayi tersebut, yang dapat tetap dilakukan meskipun bayi tersebut telah meninggal dunia. Pendapat ini biasanya didasarkan pada kaidah fiqh tentang menggabungkan niat antara ibadah sunnah dan ibadah wajib, misalnya niat sedekah dan sekaligus membayar kafarat.
3. Pandangan Rumaysho Terhadap Aqiqah Jenazah
Rumah Fiqih Indonesia (Rumaysho) sebagai lembaga yang kredibel dalam memberikan fatwa keagamaan, tidak secara eksplisit memberikan fatwa khusus mengenai aqiqah untuk orang yang sudah meninggal. Namun, berdasarkan pemahaman umum terhadap pemahaman fiqih yang ada di Rumaysho dan referensi dari berbagai kitab fikih, kemungkinan besar mereka cenderung berpegang pada pendapat yang lebih hati-hati. Rumaysho cenderung menekankan pada kejelasan dalil dan menghindari praktik yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Quran dan Hadits.
Oleh karena itu, tanpa pernyataan resmi dari Rumaysho, dapat disimpulkan bahwa mereka kemungkinan akan lebih condong kepada pendapat yang menyatakan aqiqah hanya berlaku untuk bayi yang masih hidup. Namun, ini hanyalah sebuah prediksi dan bukan fatwa resmi. Untuk kepastian hukum, mengajukan pertanyaan langsung kepada Rumaysho melalui kanal resmi mereka adalah langkah yang tepat.
4. Alternatif Amalan yang Lebih Dianjurkan
Jika seseorang ingin beramal jariyah untuk bayi yang sudah meninggal, ada beberapa alternatif amalan yang lebih dianjurkan dan memiliki dasar hukum yang lebih kuat daripada aqiqah. Di antaranya adalah:
- Sedekah jariyah: Memberikan sedekah atas nama bayi yang telah meninggal, baik berupa uang, makanan, atau barang-barang bermanfaat lainnya. Sedekah ini akan terus mengalir pahalanya kepada bayi tersebut.
- Doa: Membaca doa untuk bayi tersebut, memohon ampunan dan rahmat Allah SWT.
- Membaca Al-Quran dan Shalawat: Membaca Al-Quran dan shalawat atas nama bayi yang telah meninggal juga merupakan amalan yang sangat baik.
Amalan-amalan ini memiliki dasar yang jelas dalam Al-Quran dan hadits, dan lebih disarankan daripada melakukan amalan yang hukumnya masih diperselisihkan.
5. Pertimbangan Budaya dan Praktik di Masyarakat
Di beberapa masyarakat, praktik aqiqah untuk orang yang sudah meninggal sudah menjadi tradisi. Meskipun secara hukum masih diperselisihkan, tradisi tersebut mungkin memiliki latar belakang budaya dan sosial tertentu. Namun, penting untuk memahami bahwa tradisi tersebut tidak boleh menggantikan hukum-hukum agama yang telah jelas. Jika tradisi tersebut bertentangan dengan hukum agama, maka sebaiknya tradisi tersebut ditinggalkan.
Penting juga untuk memahami bahwa niat dan keikhlasan dalam beramal sangat penting. Jika seseorang melakukan aqiqah untuk orang yang sudah meninggal dengan niat untuk beramal jariyah dan mengharap ridho Allah SWT, maka niat tersebut tetap baik. Namun, lebih baik jika amalan tersebut digantikan dengan amalan yang memiliki dasar hukum yang lebih kuat.
6. Kesimpulan Sementara dan Saran
Hukum aqiqah untuk orang yang sudah meninggal masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ketiadaan dalil yang eksplisit menjadi penyebab perbedaan pendapat. Tanpa fatwa resmi dari Rumaysho atau lembaga terpercaya lainnya, sebaiknya mengikuti pendapat yang lebih hati-hati dan memilih amalan alternatif yang memiliki dasar hukum yang lebih kuat, seperti sedekah jariyah, doa, dan membaca Al-Quran serta shalawat. Penting untuk selalu berpegang teguh pada dalil-dalil agama dan berkonsultasi dengan ulama yang berkompeten jika memiliki pertanyaan atau keraguan. Menghindari kesalahpahaman dan praktik yang tidak memiliki dasar yang jelas merupakan hal yang sangat penting dalam menjalankan ibadah.