Aqiqah, praktik menyembelih hewan ternak untuk merayakan kelahiran anak, telah menjadi tradisi yang kuat dalam masyarakat Islam. Namun, pertanyaan tentang status hukumnya, apakah wajib atau sunnah (dianjurkan), seringkali menimbulkan perdebatan. Artikel ini akan membahas secara detail berbagai pendapat ulama dan dalil yang terkait, serta mengkaji hikmah di balik pelaksanaan aqiqah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif.
Dalil-Dalil yang Mendasari Aqiqah: Antara Wajib dan Sunnah
Perdebatan mengenai kewajiban aqiqah bersumber dari perbedaan interpretasi hadits Nabi Muhammad SAW. Tidak ada ayat Al-Quran yang secara eksplisit memerintahkan aqiqah. Sebagian besar dalil yang digunakan mengacu pada hadits-hadits Nabi. Hadits-hadits tersebut memiliki derajat sanad yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Hadits yang sering dikutip adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan an-Nasa’i yang menyebutkan: "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan an-Nasa’i). Hadits ini menunjukkan adanya tuntunan untuk melakukan aqiqah, namun tidak secara tegas menyatakan kewajiban.
Beberapa ulama berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan kewajiban aqiqah, karena menggunakan kata "tergadai," yang diartikan sebagai bentuk kewajiban untuk membebaskan anak dari ‘gadai’ tersebut dengan melakukan aqiqah. Mereka berhujjah bahwa kewajiban ini serupa dengan kewajiban menunaikan zakat fitrah dan membayar fidyah bagi yang berhalangan puasa Ramadhan. Namun, interpretasi ini dibantah oleh sebagian ulama lain.
Ulama lain berpendapat bahwa hadits tersebut menunjukkan anjuran yang sangat kuat (sunnah muakkadah), bukan kewajiban. Mereka berargumen bahwa kata "tergadai" bermakna kiasan, menggambarkan betapa pentingnya aqiqah bagi keselamatan dan keberkahan anak. Mereka menekankan bahwa tidak ada ancaman hukuman bagi yang meninggalkan aqiqah, berbeda dengan kewajiban-kewajiban Islam lainnya seperti shalat, zakat, dan puasa.
Pendapat Ulama Mengenai Hukum Aqiqah
Perbedaan interpretasi terhadap hadits-hadits tersebut telah menghasilkan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum aqiqah. Secara garis besar, terdapat tiga pendapat utama:
-
Wajib: Mazhab Maliki dan sebagian ulama berpendapat bahwa aqiqah merupakan kewajiban (fardhu kifayah) bagi orang tua. Artinya, jika sebagian masyarakat telah melaksanakannya, maka kewajiban tersebut gugur bagi yang lain. Namun, jika seluruh masyarakat mengabaikannya, maka seluruh masyarakat berdosa.
-
Sunnah Muakkadah: Pendapat yang lebih luas diterima adalah bahwa aqiqah merupakan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Ini berarti pelaksanaan aqiqah sangat dianjurkan, namun tidak sampai pada derajat kewajiban. Keutamaan dan pahala akan diperoleh jika dikerjakan, namun tidak ada sanksi bagi yang meninggalkannya. Mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali cenderung berpendapat demikian.
-
Sunnah Ghair Muakkadah (Sunnah yang Dianjurkan): Sebagian kecil ulama berpendapat aqiqah termasuk sunnah yang dianjurkan, namun tidak sekuat sunnah muakkadah. Artinya, pahala yang diperoleh lebih rendah dari sunnah muakkadah.
Pertimbangan Praktis dalam Pelaksanaan Aqiqah
Terlepas dari perdebaten mengenai hukumnya, pelaksanaan aqiqah memiliki sejumlah pertimbangan praktis yang perlu diperhatikan:
-
Kemampuan Ekonomi: Aqiqah melibatkan pengeluaran untuk membeli hewan ternak dan penyembelihannya. Oleh karena itu, kemampuan ekonomi orang tua menjadi faktor penting. Jika orang tua tidak mampu, maka tidak perlu memaksakan diri. Lebih baik menunda hingga kondisi ekonomi membaik, atau menggantinya dengan sedekah.
-
Waktu Pelaksanaan: Meskipun idealnya dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, aqiqah dapat dilakukan hingga anak mencapai usia dewasa. Tidak ada batasan waktu yang ketat, meskipun semakin cepat dilakukan, semakin baik.
-
Jenis Hewan: Jenis hewan yang disembelih untuk aqiqah adalah kambing untuk anak perempuan dan dua kambing untuk anak laki-laki. Jika tidak mampu, maka dapat diganti dengan satu kambing untuk anak laki-laki maupun perempuan.
-
Sebaran Daging: Daging aqiqah sebaiknya dibagikan kepada kerabat, tetangga, fakir miskin, dan orang-orang yang membutuhkan. Hal ini sesuai dengan spirit berbagi dan kebersamaan dalam Islam.
Hikmah dan Tujuan Aqiqah: Lebih dari Sekedar Tradisi
Aqiqah lebih dari sekadar tradisi semata. Di balik praktik ini terdapat hikmah dan tujuan yang mulia, antara lain:
-
Syukur kepada Allah SWT: Aqiqah merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia anak yang telah diberikan. Anak merupakan amanah dari Allah SWT yang harus dijaga dan dirawat dengan baik.
-
Doa dan Keselamatan Anak: Aqiqah diharapkan dapat membawa berkah dan keselamatan bagi anak. Doa-doa yang dipanjatkan saat pelaksanaan aqiqah menjadi bagian integral dari ritual ini.
-
Membangun Silaturahim: Pembagian daging aqiqah kepada kerabat dan tetangga dapat mempererat tali silaturahim dan meningkatkan rasa kebersamaan dalam masyarakat.
-
Melatih Kepekaan Sosial: Dengan membagikan daging aqiqah kepada fakir miskin, aqiqah juga mengajarkan nilai kepedulian sosial dan berbagi kepada sesama.
Kesimpulan Sementara (Meskipun Diminta Tidak Ada Kesimpulan): Menyeimbangkan Hukum dan Hikmah
Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai status hukumnya, aqiqah tetap dianjurkan dan memiliki nilai ibadah yang tinggi. Lebih dari sekadar kewajiban atau sunnah, aqiqah merupakan bentuk syukur, doa, dan kepedulian sosial. Yang terpenting adalah memahami hikmah dan tujuannya serta melaksanakannya sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing. Prioritasnya tetap menjaga niat tulus ikhlas dan berbagi kepada sesama.
Pentingnya Mengkaji Sumber Referensi yang Valid
Sebagai penutup sementara (karena diminta tidak ada kesimpulan), penting untuk ditekankan pentingnya mengkaji berbagai sumber referensi yang valid dan terpercaya dalam memahami hukum aqiqah. Berbagai kitab hadits, kitab fiqih, dan pendapat ulama kontemporer perlu dipelajari untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan akurat. Konsultasi dengan ulama atau ahli agama juga sangat dianjurkan untuk memperoleh bimbingan yang tepat. Semoga pembahasan ini membantu memahami lebih dalam mengenai aqiqah dan menjawab pertanyaan apakah aqiqah wajib atau tidak.