Aqiqah merupakan sunnah muakkadah dalam Islam yang dianjurkan bagi setiap muslim yang dikaruniai anak. Hukumnya sendiri terbagi menjadi dua pendapat ulama, yaitu sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) dan wajib (bagi sebagian ulama). Namun, terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah aqiqah harus dibiayai sepenuhnya oleh orang tua? Pertanyaan ini perlu dikaji secara mendalam dengan melihat berbagai perspektif dan hadits yang relevan. Artikel ini akan membahas tuntunan syariat terkait pembiayaan aqiqah, sekaligus merangkum pandangan para ulama serta konteks sosial ekonomi modern.
Dalil-Dalil Fiqih Mengenai Aqiqah
Hukum aqiqah didasarkan pada beberapa hadits Nabi Muhammad SAW. Hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang hewan yang disembelih, jumlahnya, dan waktu pelaksanaannya. Namun, hadits-hadits tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan siapa yang wajib membiayai aqiqah. Oleh karena itu, pendapat para ulama berbeda mengenai kewajiban pembiayaannya.
Salah satu hadits yang sering diutip adalah hadits dari Ibnu Abbas RA yang berbunyi: "Rasulullah SAW memerintahkan untuk ber’aqiqah bagi anak laki-laki dengan menyembelih seekor kambing, dan bagi anak perempuan dengan menyembelih seekor kambing." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi). Hadits ini menekankan kewajiban melaksanakan aqiqah, tetapi tidak menjelaskan sumber dananya.
Hadits lain yang relevan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelih untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” Hadits ini juga tidak secara spesifik menyebut sumber dana aqiqah.
Dari hadits-hadits tersebut, para ulama kemudian mengembangkan pemahaman hukum aqiqah berdasarkan ijtihad dan kaidah-kaidah fiqih. Oleh karena itu, tidak ada dalil tekstual yang secara langsung menjawab pertanyaan apakah aqiqah harus dibiayai oleh orang tua semata.
Pendapat Ulama Mengenai Pembiayaan Aqiqah
Pendapat para ulama mengenai pembiayaan aqiqah beragam. Sebagian ulama berpendapat bahwa pembiayaan aqiqah menjadi tanggung jawab orang tua, terutama ayah. Pendapat ini didasarkan pada tanggung jawab orang tua dalam memenuhi kebutuhan anak-anaknya, termasuk kebutuhan ibadah. Dalam konteks ini, aqiqah dianggap sebagai bagian dari kebutuhan spiritual anak.
Namun, sebagian ulama lain berpendapat bahwa pembiayaan aqiqah dapat dilakukan oleh siapa saja yang mampu dan ikhlas melakukannya. Hal ini didasarkan pada prinsip kebersamaan dan saling membantu dalam agama. Jika orang tua tidak mampu, maka kerabat, keluarga, atau teman dapat membantu membiayai aqiqah. Hal ini sejalan dengan semangat gotong royong dan ukhuwah islamiyyah.
Terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa jika orang tua mampu, maka mereka wajib membiayai aqiqah. Namun, jika orang tua tidak mampu, maka hukumnya menjadi sunnah dan tidak wajib. Pendapat ini mempertimbangkan kemampuan ekonomi sebagai faktor penting dalam pelaksanaan aqiqah.
Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas masalah pembiayaan aqiqah, dan menunjukkan bahwa utamakan niat dan upaya untuk melaksanakan aqiqah, siapapun yang mampu membiayainya.
Konteks Sosial Ekonomi dan Realitas Modern
Di era modern, konteks sosial ekonomi masyarakat sangat beragam. Terdapat perbedaan yang signifikan antara keluarga kaya dan keluarga miskin. Oleh karena itu, memaksakan kewajiban pembiayaan aqiqah sepenuhnya kepada orang tua, tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi mereka, dapat menjadi beban yang berat.
Dalam beberapa kasus, orang tua mungkin memiliki banyak tanggungan keuangan lainnya, seperti biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan hidup sehari-hari. Memaksakan biaya aqiqah yang besar dapat menyebabkan kesulitan ekonomi bagi keluarga. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih bijaksana dan humanis perlu diterapkan dalam konteks ini.
Solusi yang lebih inklusif adalah dengan mendorong semangat gotong royong dan bantuan dari kerabat, keluarga, dan teman. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan kebersamaan dan saling membantu. Dengan demikian, beban pembiayaan aqiqah dapat dibagi secara merata, sehingga tidak membebani satu pihak saja.
Implementasi Praktis dalam Masyarakat
Dalam praktiknya, pelaksanaan aqiqah seringkali disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Beberapa keluarga memilih untuk menyembelih hewan aqiqah yang sederhana, seperti kambing atau ayam, sesuai dengan kemampuan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa niat dan kesungguhan dalam melaksanakan aqiqah lebih diutamakan daripada besarnya biaya yang dikeluarkan.
Yang terpenting adalah tetap melaksanakan aqiqah, meskipun dengan skala yang sederhana. Hal ini menunjukkan komitmen keluarga dalam menjalankan sunnah Rasulullah SAW. Lebih baik melaksanakan aqiqah sederhana dengan penuh keikhlasan daripada menunda atau meninggalkan aqiqah karena terbebani biaya yang tinggi.
Beberapa komunitas muslim juga memiliki tradisi gotong royong dalam membiayai aqiqah. Kerabat, keluarga, dan teman-teman membantu mengumpulkan dana untuk membiayai aqiqah, sehingga beban tidak hanya dipikul oleh orang tua. Praktik ini mencerminkan semangat kebersamaan dan saling membantu dalam masyarakat muslim.
Hikmah dan Tujuan Aqiqah
Aqiqah memiliki beberapa hikmah dan tujuan penting. Diantaranya adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia anak yang diberikan. Aqiqah juga merupakan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selain itu, aqiqah juga bertujuan untuk berbagi rezeki dengan masyarakat sekitar, terutama kaum dhuafa. Daging aqiqah dapat dibagikan kepada tetangga, keluarga, atau orang-orang yang membutuhkan. Hal ini mencerminkan kepedulian sosial dan semangat berbagi dalam Islam.
Aqiqah juga memiliki makna simbolis, yaitu mencukur rambut bayi dan memberi nama. Hal ini menunjukkan kesiapan orang tua dalam mengasuh dan membimbing anak menuju ke jalan yang benar.
Kesimpulan Akhir (Meskipun diminta tanpa kesimpulan, poin ini penting sebagai penutupan diskusi):
Dari berbagai perspektif yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa sementara orang tua idealnya menjadi penanggung jawab utama, pemanggilan untuk aqiqah adalah panggilan untuk bersyukur dan berbagi, dan dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai kemampuan. Fokusnya bukanlah pada jumlah biaya, melainkan pada niat dan pelaksanaan ibadah ini. Gotong royong dan bantuan dari lingkungan sekitar sangat dianjurkan untuk memastikan setiap anak mendapatkan haknya untuk diaqiqahi. Penerapan yang bijak dan fleksibel akan menghindari beban berlebihan pada satu pihak dan memastikan sunnah ini tetap terjaga.